coordinator@plastikdetox.com

Empowering small businesses to prevent waste

Ica Mengompos di Rumah (Bagian 1)

Posted June 8, 2020, 06:52 by Okky Sari


Anggota keluarga Ida Ayu Purniza Maysitha saat mengaduk sampah organik untuk dijadikan kompos. ©PlastikDetox/Ida Ayu Purniza Maysitha

Halo, perkenalkan saya Ida Ayu Purniza Maysitha, biasa dipanggil Ica. Saya ingin berbagi pengalaman sebagai orang awam yang baru-baru ini melakukan proses komposting di rumah. Kenapa saya ingin membagikan pengalaman tersebut?
​Jawabannya, bukan karena prosesnya mudah tapi justru ribet karena membutuhkan waktu yang lama, kira-kira 1-2 minggu.


Anggota keluarga Ida Ayu Purniza Maysitha saat mengecek sampah organik untuk dibuatkan 'kue lapis' kompos. ©PlastikDetox/Ida Ayu Purniza Maysitha

Dari pengalaman ini saya jadi sadar bahwa untuk memproses sampah organik yang notabene lebih mudah terurai saja butuh proses yang lama. Belum lagi waktu yang dibutuhkan untuk terurai dan jumlah produksi yang dihasilkan tiap hari tidak seimbang. Kebayang ga sih untuk sampah anorganik lain yang kita hasilkan?

Awalnya yang berniat melakukan komposting adalah tante saya, itupun dilakukan seadanya hanya dengan menabur sisa makanan di bak tanaman. Saya mulai tertarik setelah melihat bahwa ternyata sampah yang saya buang di bak tersebut setelah lebih dari 1 minggu tidak benar-benar terurai juga. Akhirnya kami memutuskan untuk melakukan proses komposting dengan lebih baik berbekal ember bekas cat milik kami.

Menuju eksekusi niatan kami, ada satu ember cat yang diletakkan dapur untuk mengumpulkan sisa makanan. Tante dan Mbah akan mencacah sisa memasak di dapur sebelum dimasukan ke ember tersebut. Adik-adik biasanya ikut membuang sisa makanan ke dalam ember di dapur atau memasukan sampah organik lainnya ke dalam ember kompos yang diletakkan di lorong samping rumah (biasanya dilakukan setelah menyapu halaman atau membersihkan tempat sembahyang).

Tugas saya adalah melakukan pengecekan berkala dan mengatur penambahan campuran. Kami menyebutnya menyusun kue lapis sampah yang terdiri atas sampah, tanah yang tidak subur, dan dedaunan kering dari taman. Pada proses ini intinya adalah menjaga kondisi kompos yang kita buat tidak terlalu banyak mengandung air, tidak berbau, dan cukup berongga sehingga masih bisa disusupi oleh udara. 

Berbeda dengan proses komposting seperti pada tutorial atau cara lainnya yang ditemukan di internet, kami tidak melubangi ember cat yang digunakan untuk komposting. Alasannya karena masih uji coba dan cukup malas melakukannya. Alhasil di bagian bawah biasanya terkumpul sampah dan tanah dengan konsistensi air yang cukup tinggi bercampur air lindi (jangan ditiru ya hehe). 

Kami melakukan panen pertama dalam waktu 2 minggu, itu pun tidak semua bagian dalam ember matang, Bagian yang matang kami keluarkan untuk dijadikan sebagai media tanam, sedangkan sisanya kami masukan lagi ke dalam ember. Waktu kematangan kompos bergantung pada kondisi campuran dan jenis sampah sehingga perlu dilakukan pengecekan berkala. 


Anggota keluarga Ida Ayu Purniza Maysitha saat memotong kecil-kecil sampah organik untuk dijadikan kompos. ©PlastikDetox/Ida Ayu Purniza Maysitha

Salah satu kesimpulan yang didapat dari proses ini adalah pertama, sampah akan lebih mudah terurai ketika sudah dikelompokkan. Kesimpulan ini saya dapatkan mengingat pada pengecekan berkala tidak semua sampah terurai secara bersamaan. Seperti misalnya sampah daun kelapa (canang), ranting atau batang, dan biji buah ternyata terurai dalam waktu yang lebih lama. Maka itu, penting memisahkan sampah yang jenisnya serupa, misalkan untuk canang bisa dikeringkan terlebih dahulu baru dimasukkan ke dalam ember kompos.

Hal ini yang kemudian membuat saya menghubungkan komposting dengan proses pengelolaan sampah umumnya di Indonesia. Dimana kita hanya menumpuk campuran sampah anorganik dan organik yang proses terurainya pasti membutuhkan waktu yang lebih lama. Pengalaman membuat tingkat keingintahuan saya terhadap sampah meningkat. Akhirnya mulailah proses pembelajaran tentang sampah.

Hal menurut saya yang paling mendasar adalah masyarakat perlu sadar bahwa sampah juga merupakan sumber daya. Saat ini proses pemanfaatan sumber daya di Indonesia masih dilakukan secara linier. Sumber daya baku diolah menjadi sumber daya yang dapat dimanfaatkan sampai akhirnya menjadi sampah, namun digunakan lagi untuk meningkatkan produksi sumber daya baku. Jika hal ini terus dilakukan, tentu sumber daya baku akan cepat habis. Realitanya, banyak sampah yang kita hasilkan juga tidak hilang bahkan ketika kita mati. Hal ini akan menjadi warisan untuk anak cucu kita. Mari kita tanya diri kita sendiri, apakah kalian mau diwarisi sampah oleh generasi sebelumnya? Jika jawabannya tidak, seharusnya kalian tau apa yang akan dijawab oleh generasi penerus kita, jika mereka diberi pertanyaan yang sama. 

Penulis: Ida Ayu Purniza Maysitha (relawan PlastikDetox)
Editor: Luh De Dwi Jayanthi (koordinator PlastikDetox)

Comments

There are no comments

 

Comments are disabled after three months

Other News