coordinator@plastikdetox.com

Empowering small businesses to prevent waste

Akhir Tipu-Tipu Biodegradable, Pemerintah Australia Melarang Penggunaannya

Posted April 6, 2021, 05:14 by Dwi

Masih utuh - Salah satu contoh plastik yang diklaim biodegradable yang ditaruh di depan kamar Sri Junantari sejak 2017. Sumber foto: ©PlastikDetox
 

Pagi itu saya melihat story seorang teman di Instagram yang mengabarkan “Australia will soon ban biodegradable plastics”. Suara jeritan kecil bocor dari mulut saya. Tangan saya dalam sekejap sudah membawa saya mengunjungi post plasticsoupfoundation yang diunggah via story oleh teman saya.

Idealnya, plastik biodegradable adalah plastik yang dapat dicerna oleh makhluk hidup dalam waktu yang singkat tanpa meninggalkan residu yang beracun. Sekelebat  muncul pertanyaan dalam benak saya, apakah sebenarnya kita telah terperangkap intrik pemasaran produk yang hanya berpura-pura hijau padahal sebenarnya tidak? 

 

Saya menghela nafas ketika mata saya tak sengaja menangkap plastik yang berlabel biodegradable yang tergantung di depan kamar agar mendapat oksigen dan cahaya matahari. Plastik tersebut sudah saya simpan sejak tahun 2017. Warnanya memang pudar, tetapi plastik itu  tetap utuh. 

 

Tiba-tiba saya teringat dalam Agama Hindu, ada konsep keseimbangan alam Utpetti, Stiti, dan Pralina, yang mengajarkan bahwa setiap kehidupan pasti akan berakhir dengan kematian. Jika memang benar begitu, lantas bagaimana cara mengakhiri kehidupan plastik ini? 

 

Lelah bergulat dengan pikiran-pikiran itu, saya langsung menutup Instagram dan beralih menuju mesin pencarian Google. Saya berusaha memuaskan hasrat akan informasi lebih lanjut tentang pelarangan penggunaan plastik biodegradable di Australia ini.
 

Jenni Downes, Kimborg dan Nick Florin menceritakan detail rencana pelarangan penggunaan biodegradable tersebut di theconversation.com. Rupanya Australia akan menerapkan pelarangan penggunaan plastik biodegradable yang penuh problematika ini pada Juli 2022. Pelarangan ini adalah usaha pemerintah Australia menangani krisis masalah plastik yang akan berlaku untuk industri.

Plastik
biodegradable dianggap bermasalah karena kurangnya peraturan atau standar tentang bagaimana istilah tersebut harus digunakan. Masalah lain yang cukup mengkhawatirkan adalah plastik biodegradable yang terurai hingga tak dapat dilihat mata telanjang ternyata tetap ada di lingkungan seperti tanah maupun dapat berakhir di lautan. Lalu, akan berakhir kembali di tubuh manusia, eh.

 

Ah, saya jadi teringat dengan nasib plastik oxo-biodegradable yang dilarang penggunaannya di Uni Eropa. Dikutip dari lexology.com, larangan yang berlaku sejak 2 Juli 2019 ini mewajibkan negara-negara anggota Uni Eropa untuk tidak menyediakan plastik oxo-biodegradable di pasar. Plastik oxo-biodegradable adalah plastik yang dalam proses pembuatannya ditambahkan sejumlah bahan kimia yang mengklaim dapat hancur di alam lebih cepat dibandingkan dengan plastik konvensional.

Plastik
oxo-biodegradable memerlukan oksigen agar dapat terurai, sedangkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), kandungan oksigen sangat terbatas. Plastik jenis ini bahkan dipandang lebih buruk daripada plastik konvensional, sebab pembusukan aerobik yang terjadi pada oxo-biodegradable dapat meningkatkan munculnya gas rumah kaca.

 

Jika memang biodegradable tak sebaik citra yang dibangunnya selama ini , lantas kita bisa apa? Mungkin benar kata Dr.Jambeck, “hal terbaik yang dapat dilakukan untuk lingkungan adalah dengan tidak membuat sampah apapun”. 

 

Namun, saya juga menyadari sepanjang hidup, saya pasti akan menghasilkan sampah. Meski begitu, saya dan Anda dapat mengusahakan untuk mengubah kebiasaan pakai sekali buang. Sebelum semua itu, saya dan Anda selalu punya pilihan untuk memikirkan ulang apakah suatu produk tidak akan menambah volume sampah. Jangan sampai kita terjebak dengan produk yang hanya tipu-tipu hijau tetapi sebenarnya tidak. Ini bukan tentang kesempurnaan, tetapi tentang bagaimana kita membiasakan diri untuk membuat perubahan secara bertahap, sekecil-kecilnya dan sebisa-bisanya.

Penulis: Ni Luh Sri Junantari (relawan PlastikDetox)
Editor: Luh De Dwi Jayanthi (koordinator PlastikDetox)

 
 


 

 
 

Comments

There are no comments

 

Comments are disabled after three months

Other News